Peneliti dan beberapa ahli sejarah, mengungkapkan, dulu Surabaya ini adalah
muara sungai dan terbentuk oleh gugusan kepulauan. Muara Sungai Kali
Brantas dengan anaknya Kali Surabaya masih di Wonokromo. Sedangkan
Surabaya sekarang merupakan pulau-pulau kecil yang terjadi akibat lumpur
yang hanyut dari letusan Gunung Kelud. Namun, lama-kelamaan terus
terjadi pendangkalan di muara sungai yang terletak di Selat Madura ini.
Akibat
sedimen yang terus bertambah, endapan lumpur semakin meninggi, sehingga
selat-selat yang terletak di antara gugus pulau-pulau kecil itu
menyempit. Di antara pulau-pulau kecil itu banyak yang menyatu,
sementara ada pula selat di antara pulau-pulau kecil itupun berubah
menjadi anak sungai atau kali.
Kejadian
yang unik itu ditopang pula dengan proses tektonik. Permukaan daratan
Surabaya naik 5 sampai 8 centimeter per-abad. Sementara itu daratan atau
garis pantai bertambah ke arah laut rata-rata 7,5 centimeter per-tahun.
Dalam
catatan sejarah, Gunung Kelud rata-rata meletus setiap 15 tahun sekali.
Memang, apabila Kelud meletus, dua wilayah yang menjadi sasaran utama,
yaitu Blitar dan Kediri. Tetapi, karena Sungai kali Brantas mengalir
dari arah Kediri sampai ke Surabaya, maka semburan gunung yang membawa
lava, lahar dan lumpur itu hanyut sampai ke muara sungai. Selain membuat
pendangkalan di badan sungai, endapan terbanyak justru di muaranya
Selat Madura, yaitu Surabaya dan Sidoarjo.
Data
yang berhasil dicatat dari Proyek Penanggulangan Bencana Alam Gunung
Kelud, secara berturut-turut Gunung Kelud meletus tahun 1311, 1334,
1376, 1385, 1395, 1411, 1451, 1462, 1481, 1586, 1752, 1771, 1811, 1826,
1835, 1848, 1851, 1864, 1901, 1919, 1951, 1966, 1990 dan 2005.
Sebagai
contoh, letusan tahun 1966 dan 1990, tidak kurang satu kali letusan
memuntahkan lahar 28 juta meter kubik. Lahar yang dimuntahkan itu,
selain menimbun kawasan di sekitar gunung, juga mengalir di lereng
gunung terus ke sungai. Lahar yang berubah menjadi pasir dan lumpur itu
mengalir melalui Sungai Kali Brantas hingga muara. Akibat yang terjadi,
juga mendangkalkan permukaan sungai, mempersempit lebar sungai dan
menambah endapan di muara sungai, laut di Selat Madura.
Begitulah
asal-usul dan cikal-bakal kejadian daratan di muara Kali Surabaya,
sehingga daerah yang semula bernama Junggaluh atau Ujunggaluh atau
Hujunggaluh, kemudian bernama Surabaya. Tidaklah mengherankan, kalau
sampai sekarang Surabaya berada di dataran rendah dan terletak pada
ketinggian hanya 0 sampai 6 meter di atas permukaan laut. Jadi, kalau
Surabaya banjir atau pasang naik mencapai bibir daratan, tidak perlu
heran dan sebenarnya tidak perlu dirisaukan.
Dari gugus pulau-pulau
kecil yang disebut pulo di muara sungai Kalimas yang berinduk ke sungai
Kali Brantas itu, ada selat-selat yang dulu diberi nama kali. Jadi
tidaklah mengherankan ada nama tempat di Surabaya ini yang disebut pulo
dan kali. Di sini pola hidup dan kehidupan warga asli adalah memancing
dan berburu. Rumah-rumah penduduk kampung asli Surabaya dulunya berada
di atas tiang dan di atas permukaan air, sebagaimana umumnya permukiman
pantai.
Seiring
dengan perkembangan ruang dan waktu, pola kehidupan berubah. Kehidupan
di dunia pantai yang berubah menjadi pelabuhan itulah yang mendorong
terjadinya kegiatan kemaritiman. Dunia maritim ini saling tunjang dengan
perdagangan dan industri. Inilah ciri khas Surabaya pada awalnya, yang
kemudian berkembang ke arah pendidikan, budaya dan pariwisata seperti
sekarang ini.
Sebagai
wilayah berada di muara sungai yang berkembang menjadi pelabuhan,
keberadaannya diakui oleh pemerintah penjajah Belanda di awal abad ke
16. Evolusi menjadi kota besar mulai terjadi setelah dilakukan pemetaan
wilayah oleh Muller tahun 1746. Pemetaan wilayah Surabaya itu atas
perintah Gubernur Jenderal Belanda wilayah Hindia Belanda yang mendarat
11 April 1746 di utara Surabaya.
Awalnya
luas kota Surabaya yang secara otonom diserahkan oleh Gubernur Jenderal
Hindia Belanda saat pembentukan kota 1 April 1906 di bawah pemerintahan
walikota (burgermeester), sekitar 5.170 hektar atau 51,70 kilometer per-segi.
Setelah
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tahun 1945, Pemerintahan Kota
Surabaya dikukuhkan dengan Undang-undang No.22 tahun 1948 dengan luas
wilayah 67,20 kilometer per-segi atau 6.720 hektar.
Kemudian
terjadi perluasan kota dengan penambahan wilayah dari lima kecamatan
dari Kabupaten Surabaya (sekarang bernama Kabupaten Gresik). Luas kota
bertambah 15.461,124 hektar atau 15,46 kelometer persegi, sehingga luas
kota Surabaya menjadi 22.181,12 hektar atau 221,18 kilometer per-segi.
Entah
apa dasarnya, setelah tahun 1965 pada keterangan dan dalam buku agenda
resmi Pemerintahan Kota Surabaya terjadi perubahan luas wilayah Kota
Besar Surabaya menjadi 29.178 hektar
Sejak tahun 1992, berdasarkan pemotretan udara, ternyata luas Surabaya 32.636,68 hektar.
Memang,
begitulah kenyataannya, konon hingga sekarang, luas daratan kota
Surabaya terus bertambah. Dinas Tatakota Pemkot Surabaya, Senin, 12 Mei
2003, pernah mengungkap pertambahan luas daratan itu disebabkan lumpur
yang hanyut ke muara sungai, terutama di hilir Kali Jagir sampai daerah
Wonorejo. Akibatnya, selain muara sungai menyempit, juga semakin
dangkalnya laut di muara sungai, bahkan menimbulkan tanah oloran baru.
Kalau
kita amati dan kita cermat melakukan jalan keliling kota, pertambahan
daratan Surabaya itu, juga akibat kegiatan reklamasi pantai dan
pengurukann laut. Kegiatan yang dilakukan pihak swasta ini, pertama di
daerah pertambakan, pembangunan perumahan di pinggir pantai serta
perluasan daratan yang dilakukan pengelola Pantai Ria Kenjeran.
Kalau
dalam buku agenda tahun 1980-an, luas Surabaya tertulis 29 ribu hektar.
Kemudian pada tahun 1990-an dari hasil pemotretan udara, luas Kota
Surabaya 32,63 ribu hektar. Namun, di tahun 2003, Kepala Dinas Tatakota
Pemkot Surabaya Ir.Erlina Soemartomo (waktu itu) menyebut luas Kota
Surabaya, 35 ribu hektar lebih. Kendati demikian, pada buku kerja
(agenda) resmi terbitan Pemkot Surabaya tahun 2002, 2003, 2004, 2005 dan
2006, luas wilayah kota Surabaya tetap dicetak 326,37 km2 atau 32,63
ribu hektar lebih.
Tutur Tinular
Kembali
cerita tentang kapan Surabaya mulai disebut dan mulai ada, atau “lahir”
, versinya macam-macam. Dalam cerita lama, seperti yang terdapat, dalam
buku Kumpulan Cerita Rakyat Jawa Timur yang diterbitkan Direktorat
Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, ada
dongeng tentang Surabaya.
Selain
dongeng, juga ada cerita dari cerita yang disampaikan secara
berkesinambungan dari nenek moyang kepada kakek, dari kakek atau nenek
kepada ayah dan ibu, kemudian dari ibu kepada anak dan cucu, terus pula
kepada cicit dan buyut, begitu seterusnya sampai sekarang ini. Kalau
boleh dikatakan seperti tutur tinular, yakni penuturan yang
kemudian ditularkan atau disebarluaskan kepada generasi berikutnya Tentu
cerita dan cerita itu sudah tidak orisinal lagi, dipoles di sana-sini,
bahkan ditaburi bumbu penyedap, sehingga rasanya menjadi asyik.
Surabaya
yang dulunya hutan belantara di muara sungai Kali Brantas, kemudian
melahirkan sungai yang berasal dari selat-selat yang terdapat dari tanah
oloran yang kemudian menjadi pulau. Sungai-sungai itu tidak kurang dari
50 sungai yang disebut kali. Mulai dari kali yang cukup besar, yakni
Kali Surabaya dari Mojokerto sampai Gunungsari. Kemudian, terpecah
menjadi dua kali yang agak besar, Kali Mas yang mengalir dari Wonokromo
ke arah Tanjung Perak.
Setelah
Surabaya berkembang menjadi kota, sering terjadi banjir dalam kota.
Untuk mengatasi banjir itu, tahun 1896, Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda membuat “sungai” atau “kanal” lurus dari kali Surabaya menuju
arah Rungkut. Dulu, daerah yang dikenal dengan Pacekan terdapat
bendungan yang sekaligus dimanfaatkan untuk proyek penjernihan air untuk
PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum). Waktu itu, sumber air minum
Surabaya berasal dari Umbulan di pasuruan. Untuk penghematan biaya, maka
dibangunlah instalasi penjernihan air di Pacekan itu, dengan nama
Instalasi Ngagel.
Ada
lagi Kali Anak yang mengalir ke arah perbatasan Surabaya-Gresik. Dan,
sisanya, kali-kali yang kecil, seperti: Kali Asin, Kali Sosok, Kali
Pegirian, Kali Kundang, Kali Ondo, Kali Rungkut, Kali Waron, Kali
Kepiting, Kali Judan, Kali Mir, Kali Dami, Kali Lom, Kali Deres, Kali
Jagir, Kali Wonorejo dan masih puluhan kali lagi yang kecil-kecil.
Sebagai
muara sungai besar, di muara itu mengendaplah lumpur, apalagi
berulangkali lumpur letusan Gunung Kelud, hanyut ke muara dan membentuk
pulau-pulau. Dari berbagai pulau yang merupakan kepulauan itu, lahirlah
Surabaya. Pulau-pulau itu memang tidak begitu menonjol, kecuali Pulau
Wonokromo dan Pulau Domas. Sedangkan yang lainnya berbentuk rawa dan
danau-danau kecil yang disebut kedung, serta sebagian dijadikan tambak.
Ada lagi yang masih berbentuk karang.
Maka,
tidak heran kalau di seantero Kota Surabaya saat ini nama tempat diawali
dengan nama kedung, tambak dan karang. Contoh, Tambaksari, Tambakasri,
Tambakoso Wilangun, Tambakbayan, Tambakjati, Tambakrejo, Tambakmadu,
Kedungdoro, Kedungsari, Kedungasem, Kedung Baruk, Kedung klinter,
Kedungsroko, Kedungcowek, Kedungmangu, Karangmenjangan, Karangasem,
Karangrejo, Karang Tembok, Karanggayam dan lain-lain.
Juga
ada yang berbentuk tegal, seperti Tegalsari. Konon di Tegalsari atau
daerah Surabayan inilah cikal-bakal penduduk daratan Surabaya yang
kemudian berkembang sampai ke daerah Bubutan dan sekitar yang kemudian
menjadi pusat pemerintahan Adipati Surabaya.
Asal Nama Surabaya
Pada
umumnya, masyarakat Kota Surabaya menyebut asal nama Surabaya adalah
dari untaian kata Sura dan Baya atau lebih popular dengan sebutan Sura ing Baya, dibaca Suro ing Boyo. Paduan dua kata itu berarti “berani menghadapi tantangan”.
Namun
berdasarkan filosofi kehidupan, warga Surabaya yang hidup di wilayah
pantai menggambarkan dua perjuangan hidup antara darat dan laut. Di dua
alam ini ada dua penguasa dengan habitat bertetangga yang berbeda,
tetapi dapat bertemu di muara sungai. Dua makhluk itu adalah ikan Sura (Suro) dan Buaya (Boyo).
Perlambang
kehidupan darat dan laut itu, sekaligus memberikan gambaran tentang
warga Surabaya yang dapat menyatu, walaupun asalnya berbeda. Begitu
pulalah warga Surabaya ini, mereka berasal dari berbagai suku, etnis dan
ras, namun dapat hidup rukun dalam bermasyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan, ejaan nama Surabaya awalnya adalah: Curabhaya. Tulisan ini di antaranya ditemukan pada prasasti Trowulan I dari tahun Caka 1280 atau 1358 M. Dalam prasasti itu tertulis Curabhaya termasuk kelompok desa di tepi sungai sebagai tempat penambangan yang dahulu sudah ada (nadira pradeca nguni kalanyang ajnahaji pracasti).
Nama Surabaya muncul dalam kakawin Negarakartagama tahun 1365 M. Pada bait 5 disebutkan: Yen ring Janggala lok sabha n rpati ring Surabhaya terus ke Buwun. Artinya: Jika di Jenggala ke laut, raja tinggal di Surabaya terus ke Buwun.
Cerita
lain menyebutkan Surabaya semula berasal dari Junggaluh, Ujunggaluh
atau Hujunggaluh. Ini, terungkap pada pemerintahan Adipati Jayengrono.
Kerabat kerajaan Mojopahit ini diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk
memerintah di Ujunggaluh. Di bawah pemerintahan Jayengrono, perkembangan
pesat Ujunggaluh sebagai pelabuhan pantai terus manarik perhatian
bangsa lain untuk berniaga di sini.
Suatu
keanehan, ternyata sejarah Surabaya ini terputus-putus. Kalau sebelumnya
Surabaya dianggap sebagai penjelmaan dari Hujunggaluh atau Ujunggaluh,
namun belum satupun ahli sejarah menemukan sejak kapan nama Hujunggaluh
itu “hilang” dan kemudian sejak kapan pula nama Surabaya, benar-benar
mulai dipakai sebagai pengganti Hujunggaluh. Perkiraan sementara,
hilangnya nama Hujunggaluh itu pada abad ke-14.
Mitos Cura-bhaya
Ada lagi sumber lain
yang mengungkap tentang asal-usul nama Surabaya. Buku kecil yang
diterbitkan PN.Balai Pustaka tahun 1983, tulisan Soenarto Timoer,
mengungkap cerita rakyat sebagai sumber penelitian sejarah. Bukunya
berjudul: Menjelajahi Jaman Bahari Indonesia “Mitos Cura-Bhaya”.
Dari tulisan sepanjang 61 halaman itu, Soenarto Timoer membuat
kesimpulan, bahwa hari jadi Surabaya harus dicari antara tahun-tahun
1334, saat meletusnya Gunung Kelud dan tahun 1352 saat kunjungan Raja
Hayam Wuruk ke Surabhaya (sesuai Nagarakrtagama, pupuh XVII:5).
Surabaya tidak bisa
dilepaskan dari nama semula Hujunggaluh, karena perubahan nama
menunjukkan adanya suatu motif. Motif dapat pula menunjukkan perkiraan
kapan perubahan itu terjadi. Bahwa Hujunggaluh itu adalah Surabaya yang
sekarang dapat diteliti dan ditelusuri berdasarkan makna namanya, lokasi
dan arti kedudukannya dalam percaturan negara.
Ditilik dari makna,
nama “Hujung” atau ujung tanah yang menjorok ke laut, yakni tanjung,
dapat dipastikan wilayah ini berada di pantai. “Galuh” artinya emas.
Dalam bahasa Jawa tukang emas dan pengrajin perak disebut: Wong anggaluh atau kemasan seperti tercantum dalam kamus Juynboll dan Mardiwarsito. Dalam purbacaraka galuh sama artinya dengan perak.
Hujunggaluh atau Hujung
Emas, bisa disebut pula sebagai Hujung Perak, dan kemudian menjadi
“Tanjung Perak” yang terletak di muara sungai atau Kali Emas (Kalimas).
Nah, bisa jadi Tanjung Perak sekarang itulah yang dulu bernama Hujung
galuh.
Dilihat dari lokasi Surabaya sekarang, berdasarkan prasasti Klagen, lokasi Hujunggaluh itu sebagai jalabuhan.
Artinya, tempat bertemu para pedagang lokal dan antarpulau yang
melakukan bongkarmuat barang dengan perahu. Diperkirakan, kampung
Galuhan sekarang yang ada di Jalan Pawiyatan Surabaya, itulah
Hujunggaluh, Di sini ada nama kampung Tembok. Konon tembok itulah yang
membatasi laut dengan daratan.
Tinjauan berdasar arti kedudukannya, pada tahun 905, Hujunggaluh tempat kedudukan “parujar i sirikan” (prasati Raja Balitung, Randusari, Klaten). Parujar
adalah wali daerah setingkat bupati. Bisa diartikan, bahwa Hujunggaluh
pernah menjadi ibukota sebuah daerah setingkat kabupaten, satu eselon di
bawah kedudukan “raka i sirikan”, pejabat agung kerajaan setelah raja.
Nah,
sejak kapan Hujunggaluh berubah menjadi Surabaya? Mamang, perubahan nama
tidak sama dengan penggantian tanggal lahir atau hari jadi. Namun,
hingga sekarang belum ada satupun prasasti atau data otentik yang resmi
menyebut perubahan nama Hujunggaluh menjadi Surabaya.
Mitos dan mistis sejak lama mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Maka mitos Cura-bhaya
yang dikaitkan dengan nama Surabaya sekarang ini tentunya dapat
dihubungkan pula dengan mitologi dalam mencari hari jadi Surabaya.
Perubahan nama dari Hujunggaluh menjadi Surabaya dapat direkonstruksi
dari berbagai sudut pandang.
Bencana alam meletusnya
gunung Kelud tahun 1334 membawa korban cukup banyak. Peristiwa itu
mengakibatkan terjadinya perubahan di muara kali Brantas dengan anaknya
Kalimas. Garis pantai Hujunggaluh bergeser ke utara. Timbul anggapan
pikiran mistis yang mengingatkan kembali kepada pertarungan penguasa
lautan, yakni ikan hiu yang bernama cura, melawan penguasa darat, buaya (bhaya).
Dalam dunia mistis kemudian menjadi mitos, bahwa untuk menghentikan
pertikaian antara penguasa laut dengan darat itu, maka digabungkan
namanya dalam satu kata Cura-bhaya atau sekarang Surabaya.
Mitos ikan dengan buaya
ini sudah ada pada abad XII-XIII, sebagai pengaruh ajaran Budha
Mahayana melalui cerita Kuntjarakarna. Reliefnya terpahat di dinding gua
Selamangleng, Gunung Klotok, Kediri.
Bagaimanapun juga,
mitos ikan dan buaya yang sekarang menjadi lambang Kota Surabaya,
hanyalah merupakan sepercik versi lokal, tulis Soenarto Timoer. Jadi
mitos cura-bhaya, hanya berlaku di Hujunggaluh. Cura-bhaya adalah nama baru pengganti Hujunggaluh sebagai wujud pujian kepada sang Cura mwang Bhaya yang menguasai lautan dan daratan.
Asal-usul Penduduk
Penduduk
Surabaya boleh dikatakan berasal dari pendatang. Para pendatang mulai
menatap dan mendirikan perkampungan di sekitar pelabuhan dan berkembang
sampai ke darat, terutama di pinggir Sungai Kalimas yang merupakan anak
Sungai Kali Brantas. Lama kelamaan, nama Ujunggaluh mulai dilupakan, dan
namanya berubah menjadi Surabaya di bawah pemerintahan Adipati
Jayengrono. Pusat Pemerintahan Adipati Jeyangrono ini diperkirakan di
sekitar Kramat Gantung, Bubutan dan Alun-alun Contong saat ini.
Ada
temuan sejarah yang mencantumkan pada abad ke-15, bahwa waktu itu di
Surabaya sudah terjadi kehidupan yang cukup ramai. Tidak kurang 1.000
(seribu) KK (Kepala Keluarga) bermukim di Surabaya. Orang Surabaya yang
dicatat pada data itu umumnya keluarga kaya yang bertempat tinggal di
sekitar pelabuhan. Mereka melakukan kegiatan bisnis dan usaha jasa di
pelabuhan.
Dari
hari ke hari penduduk Surabaya terus bertambah, para pendatang yang
menetap di Surabaya umumnya datang melalui laut. Ada yang berasal dari
Madura, Kalimantan, Sulawesi dan Sumetera. Di samping ada yang berasal
dari daratan Jawa datang terbanyak melalui sungai Kali Brantas dan jalan
darat melewati hutan. Tidak hanya itu, para pelaut itu juga banyak yang
berasal dari Cina, India dan Arab, serta Eropa.
Warga
pendatang di Surabaya itu, hidup berkelompok. Misalnya, mereka yang
berasal dari Madura, Kalimantan, Sulawesi atau suku Melayu dari
Sumatera, di samping bermukim di pantai, juga banyak yang membangun
perumahan di daerah Pabean dan Pegirian. Sedangkan pendatang dari ras
Arab banyak bermukim di sekitar Masjid Ampel.
Etnis
Cina menempati kawasan Kembang Jepun, Bongkaran dan sekitarnya. Ini
terkait dengan dermaga pelabuhan waktu itu berada di sungai Kalimas, di
sekitar Jembatan Merah sekarang. Jumlah warga pendatang terus-menerus
terjadi, akibat semakin pesatnya kegiatan dagang dan perkembangan budaya
di Surabaya.
Pengikut Sunan Ampel
Khusus
masyarakat di sekitar Ampel, sebagian besar adalah rombongan yang ikut
bersama Sunan Ampel dari wilayah Mojopahit pada abad 14. Berdasarkan Babad Ngampeldenta,
Sunan Ampel melakukan aktivitas di Surabaya sekitar tahun 1331 M hingga
1400 M. Jumlah rombongan Sunan Ampel itu berkisar antara 800 hingga
1.000 keluarga.
Dalam buku Oud Soerabaia (1931) karangan GH von Faber, halaman 288 dinyatakan Raden Rahmat pindah bersama 3.000 keluarga (drieduezend huisgezinnen}
Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817), halaman 117 menulis saat kepindahan Raden Rahmad dari keraton Majapahit ke Ampel, ia disertai 3.000 keluarga (three thousand families). Sementara itu menurut Babad Ngampel Denta, jumlah orang yang boyongan bersama Raden Rahmat ke Ampel Surabaya sebanyak 800 keluarga (sun paringi loenggoeh domas). “Domas” menurut S.Prawiroatmodjo dalam buku Bausastra Jawa – Indonesia (1981) artinya delapan ratus.
Sejak
berdirinya permukiman di Surabaya, pertumbuhan penduduk berkembang cukup
pesat. Ada yang datang melalui laut maupun transportasi melalui sungai.
Umumnya yang melewati sungai adalah warga yang datang dari arah Blitar,
Madiun, Tulungagung, Kediri dan lain-lainnya. Mojokerto yang merupakan
pusat kerajaan Majapahit, menjadikan Surabaya sebagai pelabuhan lautnya.
Mereka mendirikan permukiman di sepanjang Kalimas, anak Kali Brantas
yang dijadikan poros lalulintas utama saat itu. Kemudian menyebar sampai
ke Keputran, Kaliasin, Kedungdoro, Kampung Malang, Surabayan dan
Tegalsari.
Setelah
koloni dagang dari Eropa yang dimotori bangsa Portugis, Spanyol dan
Belanda datang dan menetap di Surabaya, di tahun 1500-an, mereka
mendirikan gudang dan tempat tinggal di sekitar pusat pemerintahan
Adipati Surabaya, yakni di sekitar Alun-alun Contong, Bubutan,
Gemblongan, Blauran, Pasar Besar dan wilayah sekitarnya.
Belanda
yang merupakan koloni dagang rempah-rempah terbesar saat itu, mulai
membentuk pemerintahan. Tanpa disadari oleh Bangsa Indonesia, Belanda
mulai mencengkeramkan “kukunya” di Bumi Pertiwi ini sebagai penjajah.
Termasuk di Surabaya.
Jumlah Penduduk
Ketika
pemerintahan kota pertama kali dibentuk tanggal 1 April 1906, penduduk
Kota Surabaya berjumlah 150 ribu orang lebih. Limabelas tahun kemudian,
dalam cacah jiwa atau sensus penduduk tahun 1920, penduduk Surabaya
tercatat 192.180 orang. Sepuluh tahun kemudian pada sensus penduduk
tahun 1930, warga Kota Surabaya sudah berkembang menjadi 341.675 orang.
Pada zaman Jepang, di bulan September 1943 diselenggarakan cacah jiwa (sensus penduduk) Kota Surabaya (Surabaya Syi). Jumlah penduduk Surabaya waktu itu tercatat 518.729 orang.
Dalam
sensus penduduk tahun 1961 tercatat resmi 1.007.945 jiwa dan tahun 1971
naik lagi menjadi 1.556.255 jiwa. Tahun 1980 penduduk resmi yang
terdaftar sebagai penduduk Surabaya berkembang menjadi 2.027.913 jiwa
dan tahun 1990 naik menjadi 2.473.272 jiwa.
Anehnya, data dari
Dinas Kependudukan Kota Surabaya yang dikeluarkan pada bulan Mei 2004,
seolah-olah jumlah penduduk Surabaya dari tahun 1990 hingga tahun 1999
“berkurang”. Padahal ini tidak mungkin, justru sebaliknya. Manakah data
kependudukan yang akurat? Mustahil penduduk Surabaya berkurang, yang
pasti, penduduk Surabaya terus bertambah.
Data
resmi yang disajikan memang begitu kenyataannya. Tahun 1999 penduduk
Surabaya tercatat 2.406.944 jiwa. Tahun 2000 sebanyak 2.443.558 jiwa,
tahun 2001 bertambah jadi 2.473.461 jiwa, tahun 2002 naik lagi jadi
2.504.128 jiwa dan akhir tahun 2003 menjadi 2.656.420 jiwa. Data pada
akhir April 2004, warga kota Surabaya berjumlah 2.659.566 jiwa.
Data
inipun dikutip oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berikutnya,
yakni saat dikepalai oleh Drs.H.Hartojo. Sama dengan sebelumnya, sensus
penduduk tahun 2000, penduduk Surabaya berjumlah 2.443.558 orang.
Secara
rinci, dinas kependudukan dalam buku Informasi Kependudukan Kota
Surabaya tahun 2004 berturut-turut disebutkan, penduduk Surabaya tahun
2001 sebanyak: 2.473.461 orang, tahun 2002 bertambah jadi: 2.504.128,
tahun 2003 tambah lagi menjadi: 2.656.420 orang dan tahun 2004 menjadi:
2.859.655 orang.
Tahun
2006 hingga Agustus, tercatat jumlah penduduk Surabaya: 2.987.456 orang.
Pada awal tahun 2007 diperkirakan sudah mencapai 3,3 juta orang.
Dari
BPS (Biro Pusat Statistik) lain lagi. Tahun 1992 penduduk Surabaya
berjumlah 2.259.283 jiwa, kemudian tahun berikutnya ditulis sebagai
berikut: 1993 (2.286359 jiwa), 1994 (2.306.474 jiwa), 1995 (2.339.335
jiwa), 1996 (2.347.520 jiwa), 1997 (2.356.487 jiwa), 1998 (2.373.282
jiwa), 1999 (2.407.146 jiwa), 2000 (2.444.956 jiwa), 2001 (2.599.512
jiwa).
Data tentang jumlah penduduk Kota Surabaya, dalam “Resume”
RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Surabaya yang diterbitkan Badan
Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, berbeda lagi.
Penduduk Surabaya tahun 2001 hingga 2005, kemudian proyeksi penduduk Surabaya tahun 2006 hingga 2013 adalah sebagai berikut:
Tahun
2001 (2.452.222 jiwa), 2002 (2.471.557 jiwa), 2003 (2.485.761 jiwa),
2004 (2.509.833 jiwa), 2005 (2.528.777 jiwa). Proyeksi tahun 2006
(2.547.586 jiwa), 2007 (2.566.257 jiwa), 2008 (2.584.894 jiwa), 2009
(2.603.258 jiwa), 2010 (2.621.558 jiwa), 2011 (2.639.724 jiwa), 2012
(2.657.766 jiwa) dan tahun 2013 (2.675.671 jiwa).
Umumnya
para pejabat dan politisi di Surabaya dewasa ini menyebut angka
rata-rata penduduk Surabaya adalah sekitar 3 juta jiwa lebih.
Di
samping penduduk tetap, ada penduduk tetap tetapi tidak terdaftar. Di
kota Surabaya juga bermukim penduduk musiman. Akhir 2008 jumlahnya
mencapai 20 ribu jiwa. Kecuali itu, sebagai sebuah kota dengan kegiatan
ekonomi dan pemerintahan di berbagai sektor, ada penduduk siang dan
penduduk malam. Penduduk pada siang hari di bisa mencapai 5 sampai 6
juta jiwa. Pada malam hari, penduduk Surabaya sebagian besar pulang dan
tidur di Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Lamongan, Bangkalan, Pasuruan,
bahkan di Malang***
Dikutip dari berbagai sumber dan artikel
0 komentar:
Posting Komentar